BARANGKALI bagi sebagian orang, Makassar adalah kota yang padat nan sumpek. Itu adalah ciri dan konsekuensi kota besar. ‘Kota Daeng’ kerap dinilai sebagai satu dari sekian banyak kota di Indonesia yang disesaki hiruk-pikuk modernisasi. Tak pelak, prilaku sebagian manusianya praktis menjadi hedonis, pragmatis dan mengedepankan individualisme. Kegotong-royongan tergerus oleh zaman. Tapi anggapan itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Karena di Ibu Kota Sulawesi Selatan ini terdapat satu wilayah yang suasananya tidak jauh berbeda dengan kampung –layaknya pelosok desa yang dihuni orang-orang bersahaja.
Laporan : Tim Motivator
Adalah Lakkang, wilayah kelurahan yang berada di Kecamatan Tallo, Kota Makassar. Lingkungannya sejuk, warganya santun. Wilayah ini bisa disebut sebagai pulau kecil di tengah kota. Untuk menuju ke sana, harus menggunakan perahu rakit menyusuri sungai dengan tarif Rp. 3.000,-/orang dengan waktu tempuh kurang lebih lima belas menit melalui sebuah dermaga kecil di Tamalanrea.
Seperti halnya kehidupan kampung di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, di sini, penduduk juga masih memegang prinsip gotong-royong. Warganya, secara suka rela bekerja bersama-sama tanpa berharap upah. Apalagi bila pekerjaan itu berkenaan dengan kepentingan publik atau kebaikan kampung mereka.
Prinsip gotong royong yang masih melekat pada orang-orang Lakkang kami jumpai saat mereka mengerjakan bank sampah dan posko Kampung Pintar, beberapa waktu lalu. Sejumlah bapak-bapak yang usianya belum terlalu tua sedang sibuk memotong-motong kayu balok di tengah kebun bambu. “Kami mau bikin posko dan bank sampah Kampung Pintar, Pak,” begitu katanya.
Tak lama berselang, ibu-ibu berdatangan. Mereka saling memberi tahu satu sama lainnya kalau di tengah kebun bambu itu akan digelar pertemuan. Hari itu, kami datang untuk melakukan penyuluhan sistem bank sampah yang merupakan fokus program Kampung Pintar. Tak sulit mengumpulkan mereka. Barangkali karena mereka sadar bahwa program ini pun demi kebaikan dan kemajuan kampung itu. Saat penyuluhan berlangsung, warga menyimak dengan cermat. Beberapa diantaranya melontarkan pertanyaan.
BEBERAPA hari kemudian, kami datang lagi ke Pulau Lakkang. Kali ini kami bersama perwakilan Yayasan Unilever Indonesia (YUI). Sebut saja Mbak Ima. Dari atas rakit yang bergerak pelan, kami melihat beberapa orang memancing di tengah sungai yang kami lalui. Hari sudah sore saat kami tiba di dermaga pulau itu. Kami disambut oleh pemerintah kelurahan dan sejumlah tokoh masyarakat setempat. Mereka menjamu kami dengan suka cita. Pada wajah-wajah mereka terlintas percikan harapan tentang masa depan pulaunya.
Kami ditemani Pak Lurah dan pegawai kelurahan lain berkeliling Pulau Lakkang. Kami sempat melihat deretan rumah panggung yang dikelilingi pohon-pohon hijau. Beberapa warga sibuk menyiram bunga. Sebagian memotong ranting pohon yang sudah panjang. Ada juga yang sedang duduk berkumpul di beranda di bawah kolong rumah mereka. Hampir setiap warga yang melihat kami memanggil-manggil, meminta kami singgah di rumah mereka. “Singgahki, Pak!” Begitu cara mereka memanggil kami saat menyusuri lorong-lorong setapak di pulau itu.
Kelurahan Lakkang adalah satu dari sembilan Kampung Pintar di Kota Makassar. Sebelumnya, pulau ini juga menjadi wilayah binaan Green and Clean. “Kalau sistem bank sampah sudah jalan, kelompok kerja bisa membentuk koperasi bank sampah,” ujar Mbak Ima, “koperasi itu nantinya menyediakan sembako dan kebutuhan nelayan.”
Pulau Lakkang memang dihuni oleh orang-orang yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Mencari kepiting. Ada juga yang menjadi petani tambak udang dan atau bekerja sebagai buruh di Kawasan Industri Makassar (KIMA). Kata penduduk setempat, Lakkang berasal dari kata Lakka’. Teai Lakka’. Artinya kurang lebih seperti ini; bahwa sejak dulu hingga sekarang, orang-orang Pulau Lakkang yang pergi merantau pada akhirnya akan kembali dan menetap lagi di kampung halamannya hingga ajal menjemput.
Kelurahan Lakkang kini dihuni oleh lebih dari 200 kepala keluarga. Di pulau ini juga terdapat sejumlah bunker. Konon, lubang-lubang bawah tanah itu dijadikan tempat persembunyian saat bom menghujan dari udara sekaligus tempat menyimpan ransum atau persediaan makanan penduduk pada masa penjajahan Belanda. Keberadaan bunker itu pula yang membuat Pulau Lakkang, kini dilirik banyak pihak. Bagi Pemerintah Kota Makassar, pulau ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi wilayah tujuan wisata. (KP)
step by step....
BalasHapusMasih adakah kampung pintar ini? Dan bagaimana keadaan sekarang?
BalasHapus